Jumat, 12 Desember 2008

WISATA SEJARAH YANG MEMIKAT


Rumah Tuo di Balimbiang Tanah Datar
Banyak objek wisata di kabupaten Tanah Datar yang bisa dikunjungi. Selain wisata alam, Tanah Datar terkenal dengan wisata sejarahnya. Tidak hanya Istano Basa Pagarruyuang yang terbakar tahun lalu itu yang bisa dijadikan andalan. Masih banyak wisata sejarah lainnya di kabupaten Tanah Datar. Salah satunya desa tertua di Sumatera barat yaitu desa Balimbiang.

Di desa yang terletak di kecamatan Rambatan ini, banyak bangunan terutama rumah gadang berusia ratusan tahun. Karena itulah desa balimbiang dijuluki desa tertua.
Bangunan paling terkenal unik di desa Balimbiang adalah Rumah Tua. Dari namanya jelas menginformasikan bahwa usia bangunan ini sudah 350 tahun. Bagunan berukuran 22 kali 7 meter ini memilkiki 7 buah kamar tidak sesuai menurut kebiasaan Rumah Gadang Minangkabau yang mempunyai 9 ruang.
Kamar- kamar di rumah ini mempunyai pintu dengan model unik. Dasar bangunan yang terbuat dari pelupuh (bamboo) menambah kesan keunikannya. Menurut Dt. Panghulu Basa, salah satu keluarga dari garis keturunan ke lima di rumah gadang ini, sejak awal dibangun sudah ada 9 keturunan berasal dari Rumah gadang ini.
“Tapi tidak banyak yang menetap di sini. Mereka banyak merantau. Rumah ini akan ramai bila ada upacara adapt dan peresmian pernikahan salah satu keturunannya. Saat diselenggarakan perhelatan, pelaminan akan dipasang di tengah-tengah deretan tujuh ruang itu, “ jelas Penghulu Basa beberapa waktu lalu.
Di rumah ini sejumlah perkakasa tyetap dijaga kelestariannya seperti tungku pemasak dapur dengan panic (periuk) terbuat dari tanah liat yang dipajang di tengah rumah. Sebetulnya, tungku ini masih bisa dimanfaatkan, tetapi pihak keluarga turunan rumah gadang ini sepakat hanya memajang saja demi menjaga keasliannya. Hal ini juga mengantisipasi agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kebakaran dan lainnya.
Benda-benda lain yang tampak masih utuh di rumah tua ini adalah Aluang bunyian (peti dari kayu jati). Peti ini dulunynya dipakai untuk menyimpan benda berharga seperti kalung, gelang dari emas, pakaian adapt dan perhiasan lainnya. Karena berasal dari ratusan tahun silam, peti ini dibuka dengan cara klasik yaitu menggeser penutup peti dari ujung kiri ke kanan atau sebaliknya hingga sebagian penutup itu membuka.
Peti yang disebuat aluang bunyian itu ada dua buah yang dipajang pada bagian kiri dan kanan di depan pintu masuk. Jadi setiap ada pengunjung yang datang, maka matanya akan tertuju langsung kepada kedua peti yang berjejer di kiri kanan.
Keunikan Rumah Tua ini didukung pula oleh pemandangan yang indah dengan sawah-sawah menghampar hijau di sepanjang jalan. Kesan unik kian terasa dengan keberadaan rumah-rumah lain didesa Balimbing dengan arsitektur gonjong khas Minangkabau. Bila sempat menyelusup lebih jauh, juga akan tampak sisi kehidupan masyarakat yang masih tradisional. Agaknya, kekhasan inilah yang menjadikan wisatawan manca negara dan wisatawan domestic terpikat, Rumah Tua ini adalah salah satu kekayaan sejarah alam Minangkabau dari ratusan tahun silam yang pantas dilestarikan.

Sabtu, 28 Juni 2008

UMPTS & Marketing

Kompetisi/persaingan sedang melanda dunia pendidikan. Setiap tahun, saat lulusan SMA dan SMK bersaing/berlomba untuk mendapatkan Perguruan Tinggi favorit, dan pihak perguruan tinggi pun berlomba-lomba mempromosikan diri untuk mendapatkan calon mahasiswa.
Seperti layaknya di perusahaan, banyak perguruan tinggi mempunyai tim pemasaran khusus meski mereka kadang agak sungkan menggunakan istilah marketing. Di beberapa Perguruan Tinggi swasta (PTS), tim pemasaran ini bekerja penuh waktu secara profesional dengan armada lengkap mulai dari petugas promosi, desainer brosur. Selain itu, mereka juga mengoordinasi dosen dan wakil mahasiswa dari semua program studi yang ada dan melibatkan beberapa di antaranya dalam aneka kegiatan promosi di dalam maupun di luar kampus. Beberapa dosen pun tidak segan-segan menjalankan peran sebagai petugas promosi jurusan dalam kemasan seminar maupun ataupun perlombaan tingkat SLTA.
Tim pemasaran juga melakukan perjalanan ke luar kota bahkan ke luar Provinsi dalam rangka "Manjapuik Bola". Sekarang adalah era perguruan tinggi berburu calon mahasiswa. Upaya pemasaran tidak hanya terbatas pada kegiatan promosi sesaat, tetapi juga strategi jangka panjang berupa program menjalin relasi (hubungan yang baik) dan kerja sama dengan SMA/SMK. Dalam beberapa tahun belakang, para kepala Sekolah dan guru di SMA/SMK menjadi orang penting yang diperhatikan dan dimanjakan. Perguruan tinggi menggelar berbagai seminar tahunan dan mengundang mereka dengan menanggung semua biaya transportasi dan akomodasi. Ada pula perguruan tinggi yang melakukan kerja sama secara berkesinambungan misalnya program praktek kerja lapangan mahasiswa yang ditempatkan di sekolah-sekolah tersebut. Program kerja sama ini diharapkan bisa menanamkan kepercayaan di kalangan guru dan siswa SMA dan membuat mereka mengingat perguruan tinggi itu untuk dipilih di kemudian hari. Berbicara soal promosi, tidak ada yang nomor nomor dua. Masing-masing perguruan tinggi berupaya menampilkan keunggulan dan nilai jual. Kepala SMA/SMK, calon mahasiswa, dan orangtua perlu mencermati persaingan antar-perguruan tinggi dengan cerdas, bijak, dan mempelajari tiap tawaran dengan kritis agar bisa membuat keputusan dan pilihan yang paling baik dan sesuai di antara semua alternatif yang ada.
Tugas Tim pemasaran bukan hanya terbatas bagaimana mempromosikan/menyebar brosur sebanyak mungkin. Namun lebih dari itu , yakni bagaimana menjual produk (mempromosikan jasa pendidikan) semaksimal mungkin dengan diiringi cara pelayanan yang baik. Hal ini berguna dalam mengantisipasi faktor jangka panjang yaitu dapat memuaskan keinginan dan kebutuhan Konsumen (Pihak sekolah, calon mahasiswa dan orang tua) yang pada akhirnya dapat mempertahankan serta meningkatkan faktor penjualan (Penjualan jasa Pendidikan).
Dalam menunjang hal tersebut di atas, memberikan pelayanan yang baik kepada para pelanggan dan konsumen sangatlah diperlukan. Namun, bukanlah suatu hal yang mudah untuk melaksanakannya, dikarenakan adanya faktor heteroginitas pada konsumen. Hal ini terdiri dari sudut keinginan yang berbeda, kemampuan untuk produk produk/jasa, domisili, Kualitas dan faktor lainnya. Di pihak yang lain, Pergguruan Tinggi mempunyai keterbatasan dalam kemampuan, sehingga tidak memungkinkan untuk melayani kebutuhan semua konsumen dengan baik dan akurat.
Selain dengan melakukan promosi, Pihak Perguruan Tinggi sebaiknya juga meningkatkan mutunya karena di jaman sekarang ini kalau lalai sedikit saja bisa ditinggalkan konsumen (Calon Mahasiswa), hal itu dapat dilakukan diantaranya dengan :
1. melakukan pengkajian ulang terhadap kebijakan produk Perguruan Tinggi (Jasa Pendidikan) melalui perbaikan terhadap reputasi Perguruan Tinggi, kualitas lulusan, dan keadaan program studi dengan prospek lapangan kerja,
2. mengkaji kembali kebijakan harga (biaya kuliah) dan kesesuaiannya dengan manfaat yang ditawarkan kepada mahasiswa,
3. melakukan pengkajian ulang terhadap lokasi Perguruan Tinggi dan mengupayakan agar Perguruan Tinggi tersebut nyaman, bersih, sehat, dan indah,
4. Melakukan promosi untuk menarik minat calon mahasiswa, serta melakukan sosialisasi kemajuan lembaga yang telah dicapai Perguruan Tinggi dan mengadakan kompetisi-kompetisi menarik untuk mengembangkan bakat dan minat mahasiswa yang sudah ada,
5. meningkatkan kompetensi, dosen, dan karyawan sesuai dengan bidang masing-masing, kemampuan berkomunikasi, sikap yang positif, dan pelayanan yang bermutu kepada semua pihak,
6. Memberdayakan semua fasilitas yang dimiliki Perguruan Tinggi secara maksimal sehingga dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien, dan
7. meningkatkan manajemen pelayanan di segala bidang, ditunjang dengan SDM yang bekerja secara sinergis baik vertikal (hubungan pimpinan dan bawahan), maupun horisontal (hubungan kerja yang selevel). Dengan demikian, Perguruan Tinggi diharapkan dapat menjadi Centre of Excellent yang dapat memenuhi kebutuhan dunia kerja.

Kamis, 14 Februari 2008

Indonesia KU

Apa kabar indonesiaku? Kejadian buruk yang bertubi-tubi menimpa bangsa Indonesia seperti palu menghantam paku. Kecelakaan darat,laut, udara dan gempa bumi. Eh masih ada bonusnya banjirrrrrr..rr ?
Saat krisis moneter melanda Indonesia (1997), saya menonton film titanic yang sukses luar biasa. Bukan kebetulan jika saya melihat persamaan Titanic dengan Indonesia.Pembangunan di Jakarta yang meroket, jutaan orang tiba-tiba menjadi OKB, investasiasing membumbung tinggi, dana dan pinjaman dari berbagai badan moneter internasional yang menakjubkan.itulah Negara kita :Titanic kita.
Kalau titanic bertubrukan dengan gunung es, RI bertubrukan dengan krisis moneter yang merupakan kobaran api dalam sekam. Kita semua tidak pernah tahu pasti berapa juta orang yang terseret dan kehilangan nyawa atau keluarga dalam badai reformasi, yangmenderita trauma disisa hidup mereka. Yang saya tahu, seperti dalam Titanic, kita tidak punya cukup pelampung.
Apalagi waktu kapal Levina tenggelam. Para penumpang tidak pernah diajarkan bagaimana menyelamatkan diri. Pelampung banyak, tapi terkunci. Kuncinya di mana? Tanya saja sama lemari! Terbayang wajah-wajah yang lelah, lugu dan pasrah. Para penumpang dalam kapal yang naas tersebut mereke menurut saja, diapakan saja mau. Buklan karena dungu, tapi tidak ada pilihan. Disuruh tiarap ya manut. Disuruh jongkok ya mau saja. Disuruh nyemplung kelaut padahal tidak bisa berenang dan tidak pakai pelampung, ya mau bilang apa. Monggo, rame-rame nekat. Dan kita Cuma bisa bilang : Nasib / Musibah.
Kadang saya bertanya-tanya pada diri sendiri: Betulkah di Negara saya ini karena penduduknua lebih dari 250 juta, nyawa orang jadi tidak ada harganya ? kerumah sakitpun bagi kebanyakan orang berarti mengantar nyawa. Kejadian datang dan pergi tersapu dalam putaran waktu, kita pun sudah terlatih untuk melupakan hal-hal buruk. Tapi apakah kita juga lupa untuk belajar dari sana? Sejak SD kita sudah disuruh menghapal ratusan pepatah dan pantun, antara lain : Sedia paying sebelum hujan. Sudahkah kita menyediakan cukup pelampung untuk seluruh bangsa Indonesia tanpa kecuali?

Minggu, 06 Januari 2008

Soe Hok Gie

LAHIRNYA SANG DEMONSTRAN

Anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, kelahiran Jakarta tanggal 17 Desember 1942, ini sejak kecil amat suka membaca, mengarang dan memelihara binatang. Keluarga sederhana itu tinggal di bilangan Kebonjeruk, di suatu rumah sederhana di pojokan jalan, bertetangga dengan rumah orang tua Teguh Karya. Saudara laki-laki satunya ya Soe Hok Djien, kakaknya, yang kita kenal sebagai Arief Budiman.

Sejak SMP, ia menulis buku catatan harian, termasuk surat- menyurat dengan kawan dekatnya. Semakin besar, ia makin berani menghadapi ketidakadilan, termasuk melawan tindakan semena-mena sang guru. Sekali waktu, Soe pernah berdebat dengan guru SMP-nya. Tentu saja guru itu naik pitam.

Dalam catatan hariannya, ia menulis: Guru model begituan, yang tidak tahan dikritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau. Begitu tulis anak muda yang sampai hari ajalnya, tetap tak bisa mengendarai sepeda motor, apalagi nyupir mobil. "Gue cuma bisa naik sepeda, juga pandai nggenjot becak."

Sikap kritisnya semakin tumbuh ketika dia mulai berani mengungkit kemapanan. Misalnya, saat dirinya menjelang remaja, Soe menyaksikan seorang pengemis sedang makan kulit buah mangga. Dia pun merogoh saku, lalu memberikan uangnya yang cuma Rp 2,50 kepada pengemis itu. Di catatannya ia menulis: Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga, 'paduka' kita mungkin lagi tertawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Aku besertamu orang-orang malang.

Bacaan dan pelajaran yang diterimanya membentuk Soe menjadi pemuda yang percaya bahwa hakikat hidup adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dan dapat merasai kedukaan itu.

Soe melewatkan pendidikannya di SMA Kanisius. Tahun 1962 - 1969 ia menamatkan kuliah di Fakultas Sasra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah. Ia kemudian masuk organisasi Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS). Sementara keadaan ekonomi makin kacau. Soe resah. Dia mencatat: Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka akan bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi, maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak. Maka lahirlah sang demonstran.

Hari-harinya diisi dengan program demo, termasuk rapat penting di sana-sini. Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini, menyadari bahwa mereka adalah the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya ... Dan kepada rakyat aku ingin tunjukkan, bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan patriot-patriot universitas. Begitu tulisnya.

Tahun 1966 ketika mahasiswa tumpah ke jalan melakonkan Aksi Tritura, ia termasuk di barisan paling depan. Konon, Soe juga salah seorang tokoh kunci terjadinya aliansi mahasiswa-ABRI pada 1966.

Soe sendiri dalam buku CSD, menulis soal demonstrasi: Malam itu aku tidur di Fakultas Psikologi. Aku lelah sekali. Lusa Lebaran dan tahun yang lama akan segera berlalu. Tetapi kenang-kenangan demonstrasi akan tetap hidup. Dia adalah batu tapal daripada perjuangan mahasiswa Indonesia. Batu tapal dalam revolusi Indonesia dan batu tapal dalam sejarah Indonesia. Karena yang dibelanya adalah keadilan dan kejujuran ... Jakarta, 25 Januari 1966.

Soe dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).

Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Jalan (Bentang, 1997).

Kabarnya, sajak karya Soe yang puluhan judul itu, kini juga sedang dalam penyusunan untuk dijadikan sebuah buku kecil. Masuk akal sekali. Sebab Soe itu bergaul akrab dengan penyair angkatannya Taufik Ismail, WS Rendra, Satyagraha Hoerip.

Soe Hok Gie

Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.

Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin (Hanzi: 蘇福義). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, RRT.

Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).

Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.

Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).

Catatan Seorang Demonstran

Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).

Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.

Revolusiner dari Kuba


Che Guevara

Guevara dilahirkan di Rosario, Argentina, dari keluarga berdarah campuran Irlandia, Basque dan Spanyol. Tanggal lahir yang ditulis pada akte kelahirannya yakni 14 Juni 1928, namun yang sebenarnya adalah 14 Mei 1928.
Masa kecil
Sejak usia dua tahun Che Guevara mengidap asma yang diderita sepanjang hidupnya. Karena itu keluarganya pindah ke daerah yang lebih kering yaitu daerah Alta Gracia (Córdoba) namun kesehatannya tidak membaik. Pendidikan dasar ia dapatkan di rumah sebagian dari ibunya, Celia de la Serna. Pada usianya yang begitu muda, Che Guevara telah menjadi seorang pembaca yang lahap. Ia rajin membaca literatur tentang Karl Marx, Engels dan Sigmund Freud yang ada di perpustakaan ayahnya. Memasuki sekolah menegah pertama (1941) di Colegio Nacional Deán Funes (Córdoba). Di sekolah ini dia menjadi yang terbaik di bidang sastra dan olahraga. Di rumahnya Che Guevara tergerak hatinya oleh para pengungsi perang sipil Spanyol juga oleh rentetan krisis politik yang parah di Argentina. Krisis ini memuncak di bawah pemerintahan diktator fasis kiri Juan Peron, seorang yang ditentang Guevara. Berbagai peristiwa tertanam kuat dalam diri Guevara, ia melihat sebuah penghinaan dalam pantomim yang dilakonkan di Parlemen dengan demokrasinya dan muncul pulalah kebenciannya akan politisi militer beserta kaum kapitalis dan yang terutama kepada dolar Amerika Serikat yang dianggap sebagai lambang kapitalisme.

Meskipun demikian dia sama sekali tidak ikut dalam gerakan pelajar revolusioner. Ia hanya menunjukkan sedikit minat dalam bidang politik di Universitas Buenos Aires (1947) tempat ia belajar ilmu kedokteran. Pada awalnya ia hanya tertarik memperdalam penyakitnya sendiri namun kemudian dia tertarik pada penyakit kusta.

Berkeliling Argentina dengan sepeda motor
Pada tahun 1949 ia memulai perjalanan panjangnya yang pertama, menjelajahi Argentina Utara hanya dengan bersepeda motor. Itulah untuk pertama kalinya ia bersentuhan langsung dengan orang miskin dan sisa suku Indian. Selanjutnya pada tahun 1951 setelah menempuh ujian-ujian pertengahan semester Che mengadakan perjalanan yang lebih panjang didampingi dengan seorang teman dan untuk nafkah hidupnya dia bekerja sebagai pekerja paruh waktu. Ia mengunjungi Amerika Selatan, Chili di mana dia bertemu Salvador Allende, dan di Peru ia bekerja sama selama beberapa minggu di Leprasorium San Pablo, di Kolombia ia tiba pada saat La Violencia, di Venezuela ia ditangkap tetapi dilepaskan kembali, kemudian ia juga mengunjungi Miami. Che Guevara mengisahkan perjalanannya dalam buku harian yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul Buku Harian Sepeda Motor (The Motorcycle Diaries), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1996 dan kemudian difilmkan dengan judul yang sama pada 2004.

Perjalanan Che Guevara
Ia kembali ke daerah asalnya dengan sebuah keyakinan bulat atas satu hal bahwa ia tidak mau menjadi profesional kelas menengah dikarenakan keahliannya sebagai seorang spesialis kulit. Kemudian pada masa revolusi nasional ia pergi ke La Paz, Bolivia di sana ia dituduh sebagai seorang oportunis. Dari situ ia melanjutkan perjalanan ke Guatemala dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan menulis artikel arkeologi tentang reruntuhan Indian Maya dan Inca. Guatemala saat itu diperintah oleh Presiden Jacobo Arbenz Guzman yang seorang sosialis. Meskipun Che telah menjadi penganut paham marxisme dan ahli sosial Lenin ia tak mau bergabung dalam Partai Komunis. Hal ini mengakibatkan hilangnya kesempatan baginya untuk menjadi tenaga medis pemerintah, oleh karena itu ia menjadi miskin. Ia tinggal bersama Hilda Gadea, penganut paham Marxis keturunan Indian lulusan pendidikan politik. Orang inilah yang memperkenalkannya kepada Nico Lopez, salah satu Letnan Fidel Castro. Di Guatemala dia melihat kerja agen CIA sebagai agen kontrarevolusi dan semakin yakin bahwa revolusi hanya dapat dilakukan dengan jaminan persenjataan. Ketika Presiden Arbenz turun jabatan, Guevara pindah ke Kota Mexico (September 1954) dan bekerja di Rumah Sakit Umum, diikuti Hilda Gadea dan Nico Lopez. Guevara bertemu dan kagum pada Raúl Castro dan Fidel Castro juga para emigran politik dan ia menyadari bahwa Fidel-lah pemimpin yang ia cari.

Bergabung dengan Fidel Castro di Kuba
Ia bergabung dengan pengikut Castro di rumah-rumah petani tempat para pejuang revolusi Kuba dilatih perang gerilya secara keras dan profesional oleh kapten tentara Republik Spanyol Alberto Bayo, seorang pengarang "Ciento cincuenta preguntas a un guerilleo" (Seratus lima puluh pertanyaan kepada seorang gerilyawan) di Havana, tahun 1959. Bayo tidak hanya mengajarkan pengalaman pribadinya tetapi juga ajaran Mao Ze Dong dan Che (dalam bahasa Italia berarti teman sekamar dan teman dekat) menjadi murid kesayangannya dan menjadi pemimpin di kelas. Latihan perang di tanah pertanian membuat polisi setempat curiga dan Che beserta orang-orang Kuba tersebut ditangkap namun dilepaskan sebulan kemudian.

Pada bulan Juni 1956 ketika mereka menyerbu Kuba, Che pergi bersama mereka, pada awalnya sebagai dokter namun kemudian sebagai komandan tentara revolusioner Barbutos. Ia yang paling agresif dan pandai dan paling berhasil dari semua pemimpin gerilya dan yang paling bersungguh-sungguh memberikan ajaran Lenin kepada anak buahnya. Ia juga seorang yang berdisiplin kejam yang tidak sungkan-sungkan menembak orang yang ceroboh dan di arena inilah ia mendapatkan reputasi atas kekejamannya yang berdarah dingin dalam eksekusi massa pendukung fanatik presiden yang terguling Batista. Pada saat revolusi dimenangkan, Guevara merupakan orang kedua setelah Fidel Castro dalam pemerintahan baru Kuba dan yang bertanggung jawab menggiring Castro ke dalam komunisme yang menuju komunisme merdeka bukan komunisme ortodoks ala Moskwa yang dianut beberapa teman kuliahnya. Che mengorganisasi dan memimpin "Instituto Nacional de la forma Agraria", yang menyusun hukum agraria yang isinya menyita tanah-tanah milik kaum feodal (tuan tanah), mendirikan Departemen Industri dan ditunjuk sebagai Presiden Bank Nasional Kuba dan menggusur orang orang komunis dari pemerintahan serta pos-pos strategis. Ia bertindak keras melawan dua ekonom Perancis yang beraliran Marxis yang dimintai nasehatnya oleh Fidel Castro dan yang menginginkan Che bertindak lebih perlahan. Che pula yang melawan para penasihat Uni Soviet. Dia mengantarkan perekonomian Kuba begitu cepat ke komunisme total, menggandakan panen dan mendiversifikasikan produksi yang ia hancurkan secara temporer.

Pernikahan Che Guevara
Pada tahun 1959, Guevara menikahi Aledia March, kemudian berdua mengunjungi Mesir, India, Jepang, Indonesia yang juga hadir pada Konfrensi Asia Afrika, Pakistan dan Yugoslavia. Sekembalinya ke Kuba ia diangkat sebagai Menteri Perindustrian, menandatangani pakta perdagangan (Februari 1960) dengan Uni Soviet yang melepaskan industri gula Kuba pada ketergantungan pasar Amerika. Ini merupakan isyarat akan kegagalannya di Kongo dan Bolivia sebuah aksioma akan sebuah kekeliruan yang tak akan terelakkan. "Tidaklah penting menunggu sampai kondisi yang memungkinkan sebuah revolusi terwujud sebab fokus instruksional dapat mewujudkannya" ucapnya dan dengan ajaran Mao Ze Dong ia percaya bahwa daerah daerah pasti membawa revolusi ke kota yang sebagian besar penduduknya adalah petani. Juga pada saat ini ia menyebarkan filosofi komunisnya (diterbitkan kemudian dalam "The Socialism and Man in Cuba", 12 Maret 1965). Ia meringkas pahamnya menjadi "Manusia dapat sungguh mencapai tingkat kemanusiaan yang sempurna ketika berproduksi tanpa dipaksa oleh kebutuhan fisiknya sehingga ia harus menjual dirinya sebagai barang dagangan".

Konfrontasi dengan Uni Soviet
Penentangan resminya terhadap komunis Uni Soviet tampak ketika dalam organisasi untuk Solidaritas Asia Afrika di Aljazair (Februari 1965) menuduh Uni Soviet sebagai kaki tangan imperialisme dengan berdagang tak hanya dengan negara-negara blok komunis dan memberikan bantuan pada negara berkembang sosialis atas pertimbangan pengembaliannya. Ia juga menyerang pemerintahan Soviet atas kebijakan hidup bertetangga dan juga atas Revisionisme. Guevara mengadakan konferensi Tiga Benua untuk merealisasikan program revolusioner, pemberontakan, kerjasama gerilya dari Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Di samping itu setelah terpaksa berhubungan dengan Amerika Serikat, ia sebagai perwakilan Kuba di PBB menyerang negara-negara Amerika Utara atas keserakahan mereka dan imperialisme yang kejam di Amerika Latin.

Sikap Che yang tidak kenal kompromi pada dua negara kapitalis mendorong negara komunis untuk memaksa Castro memberhentikan Che (1965, bukan secara resmi tetapi secara nyata. Untuk beberapa bulan tempat tinggalnya dirahasiakan dan kematiannya santer diisukan. Ia berada di berbagai Negara Afrika terutama Kongo di mana dia mengadakan survei akan kemungkinan mengubah pemberontakan Kinshasa menjadi sebuah revolusi komunis dengan taktik gerilya Kuba. Ia kembali ke Kuba untuk melatih para sukarelawan untuk proyek ini dan mengirim kekuatan 120 orang Kuba ke Kongo. Anak buahnya bertempur dengan sungguh-sungguh tetapi tidak demikian halnya dengan para pemberontak Kinshasa. Mereka sia-sia saja melawan kekejaman Belgia dan ketika musim gugur 1965 Che meminta Castro untuk menarik mundur saja bantuan Kuba.

Kematian Che Guevara
Ismael Rodríguez bersama Che Guevara, sebagai tahanan di La Higuera (Bolivia), pada 9 Oktober 1967. Foto oleh CIAPetualangan revolusioner terakhir Che adalah di Bolivia, karena ia salah memperkirakan potensi negara itu yang mengakibatkan konsekuensi yang buruk. Tertangkapnya Che oleh tentara Bolivia pada 8 Oktober 1967 adalah akhir dari segala usahanya dan hukuman tembak dijatuhkan sehari setelah itu.

Pada tanggal 12 Juli 1997 jenazahnya dikuburkan kembali dengan upacara kemiliteran di Santa Clara, di provinsi Las Villas, di mana Guevara mengalami kemenangan dalam pertempuran ketika revolusi Kuba.

Che manjadi legenda. Ia dikenang karena keganasannya, penampilannya yang romantis, gayanya yang menarik, sikapnya yang tak kenal kompromi dan penolakan atas penghormatan berlebihan atas semua reformasi murni dan pengabdiannya untuk kekejaman dan sikapnya yang flamboyan. Ia juga idola para pejuang revolusi dan bahkan kaum muda generasi tahun 1960-1970 atas tindakan revolusi yang berani yang tampak oleh jutaan orang muda sebagai satu-satunya harapan dalam perombakan lingkup borjuis kapitalisme, industri dan komunisme.

Penghormatan terhadap Che Guevara
Berbagai tokoh sastra, musik dan seni telah mempersembahkan komposisinya kepada Che Guevara. Penyair Chili Pablo Neruda mempersembahkan kepadanya puisi Tristeza en la muerte de un héroe (Kesedihan karena kematian seorang pahlawan) dalam karyanya Fin del mundo (Akhir dunia) pada 1969. Pengarang Uruguay, Mario Benedetti menerbitkan pada 1967 serangkaian puisi yang dipersembahkan kepadanya dengan judul A Ras del Sueño (Pada tingkat impian). Penyanyi Carlos Puebla mempersembahkan sebuah lagu Hasta siempre comandante Che Guevara (Untuk selamanya komandan Che Guevara) dan Los Fabulosos Cadillacs, Gallo Rojo (Ayam jantan merah), yang muncul dalam album El León (Singa) pada 1991.